
Sekira akhir tahun 2017 tepatnya pada bulan Desember, publik Indonesia dikejutkan dengan pengungkapan kasus pabrik pembuatan pil PCC di Solo dan Semarang, Jawa Tengah. Kasus pengungkapan pabrik pil PCC ini bermula dari pengembangan kasus di Kendari yang memakan korban hingga 62 anak sekolah. Pengungkapan kasus pabrik pil PCC ini dilakukan hasil kerjasama antara aparat kepolisian dan BNN berkoordinasi dengan Kemenkes dan BPOM selaku instansi yang berwenang dalam pengawasan obat yang beredar.
Menurut Kapolda Jawa Tengah pada saat itu, Irjen Pol Condro Kirono, satu mesin pencetak tablet pil PCC dapat memproduksi 35 butir setiap detiknya. Tentunya angka yang luar biasa dan fantastis. Jaringan produsen pil PCC ini konon sudah dipantau oleh aparat gabungan kepolisian dan BNN selama 5 (lima) bulan lamanya. Tentunya pengungkapan ini adalah wujud sinergi yang baik antar lintas sektoral terkait.
Pil PCC yang diungkap dalam kejadian ini sebenarnya adalah obat yang terdiri dari 3 (tiga) komponen zat aktif yakni paracetamol, caffeine, dan carisoprodol. Paracetamol kita kenal bersama sebagai obat untuk analgetik antipiretik, sementara caffeine kita kenal digunakan untuk obat untuk meredakan nyeri dan membantu mencegah kantuk. Carisoprodol dikenal luas sebagai obat yang memiliki efek farmakologik sebagai relaksan otot, namun memiliki efek samping sedatif atau menenangkan. Konon efek samping dari carisoprodol inilah yang sering disalahgunakan untuk melakukan kesenangan, menambah percaya diri, menambah stamina, bahkan sebagai obat kuat untuk para pekerja seks komersial. Padahal sebenarnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri sejak tahun 2013 sudah secara resmi menarik izin edar obat yang mengandung carisoprodol. Hal ini berarti bahan baku pembuatan Pil PCC yang diungkap di Solo dan Semarang kemungkinan besar berasal dari jalur illegal.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara resmi sebenarnya telah menarik izin edar dari obat-obatan yang mengandung carisoprodol antara lain dengan nama dagang Carnophen, Rheumastop, Somadril Compositum, New Skelan, Carsipan, Carminofen, Etacarphen, Cazerol, Bimacarphen, dan Karnomed. Artinya sejak tahun 2013 sudah tidak ada lagi obat-obatan tersebut yang beredar di pasaran, jika masih ada dan ditemukan maka obat-obatan tersebut masuk dalam kategori illegal dan memenuhi unsur untuk terjadinya tindak pidana. Dasar penarikan dan pembatan izin edar, penghentian produksi, dan pemusnahan obat yang mengandung Carisoprodol berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI No.HK.04.1.35.06.13.3535 tahun 2013 tertanggal 16 Juli 2013.
Carisoprodol adalah modifikasi meprobamat yang ditujukan untuk relaksasi otot yang lebih baik. Carisoprodol yang menghambat sistem saraf pusat bertindak sebagai obat penenang dan relaksan otot melalui mekanisme kerja penghambatan komunikasi sistem saraf di retikulum otak dan sumsum tulang belakang sehingga dapat menimbulkan efek sedasi (penenang) dan perubahan persepsi nyeri. Hal yang perlu diperhatikan adalah efek samping yang terjadi dari penggunaan terapeutik carisoprodol yakni pusing, mudah tersinggung, insomnia, kehilangan penglihatan sementara, ataksia, sakit kepala. Selain itu disartria cenderung meningkat jika penggunaannya dikombinasikan dengan tramadol dan jika dikombinasikan dengan alkohol maka akan meningkatkan aktivitas dari alkohol yang bekerja pada sistem saraf pusat. Adanya efek sedatif serta efek samping bahkan penggunaan diluar indikasi mengakibatkan dilakukan batasan terhadap penggunaan obat carisoprodol. Manfaat obat cenderung lebih sedikit jika dibandingkan denga kerugian penggunaan, terutama pada penyalahgunaan zat bersama dengan obat golongan opioid.
Potensi penyalahgunaan zat beserta kasus-kasus yang terjadi menyebabkan perubahan penggolongan zat yang mengandung carisoprodol. Perubahan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 7 tahun 2018 di mana carisoprodol masuk dalam Narkotika golongan I. Tentunya kita mengetahui bersama bahwa perubahan penggolongan Narkotika pada UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika menggunakan Peraturan Menteri dalam hal ini Peraturan Menteri Kesehatan. Harapan kita tentunya dengan dimasukkannya zat ini akan mengurangi atau bahkan menghilangkan potensi penyalahgunaan maupun peredaran gelapnya. Kita tunggu bersama. Salam Sehat Tanpa Narkoba.
Penulis:
Ari Sutyasmanto, S.Farm. Apt. (BNNP DIY)
Referensi :
- Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.04.01.35.06.13.3535 tahun 2013 Tentang Pembatalan Izin Edar Obat Yang Mengandung Karisoprodol
- Reeves RR, Burke RS, Kose S. Carisoprodol : update on abuse potential and legal status. South Med J. 2012 Nov;105 (11):619-23. doi: