Isu tentang penyalahgunaan obat-obatan maupun narkotika sering berhembus di kalangan kompetisi olahraga. Istilah doping seringkali dikaitkan dengan kehidupan para atlet yang menyalahgunakan obat maupun narkotika untuk meningkatkan performa dan stamina saat berkompetisi. Namun tak jarang doping juga digunakan para atlet untuk menangani sendiri kondisi kesehatan mental yang terganggu, berhadapan dengan stres maupun tekanan, cidera, maupun kemungkinan pensiun dari olahraga (Reardon & Creado, 2014)
Apa itu doping?
Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dr. Michael Triangto, Sp.KO seperti dilansir dari Kompas.com mengatakan bahwa doping merupakan segala sesuatu baik zat maupun metode yang dengan sengaja dapat meningkatkan prestasi, namun tidak melalui proses pelatihan. Jadi ada cara-cara tertentu yang dapat meningkatkan prestasi seseorang atau menutup kekurangan yang ada, sehingga yang bersangkutan dapat menang dengan cara yang kurang adil.
Dalam artikel tentang ‘Drug Abuse in Athletes‘ disebutkan bahwa atlet yang diteliti tidak hanya menyalahgunakan performance-enhancing drugs (PEDs) yaitu obat-obatan atau zat untuk meningkatkan performa atlet, tetapi juga jenis narkotika dan zat adiktif lainnya. Bahkan jenis PEDs seperti steroid tidak digolongkan ke dalam zat ilegal atau obat resep, karena dimasukkan ke dalam golongan suplemen.
Selain itu, pada sebagian kecil atlet menyalahgunakan narkotika seperti ganja, opiates, atau jenis stimulan lain dan juga alkohol. Sejarah penggunaan doping ini tidak hanya terjadi di kompetisi era moderen, karena sejak Olimpiade Yunani, para atlet sudah mengkonsumsi wine, magic mushrooms, serta sesame seeds untuk meningkatkan performa saat bertanding. Sekitar tahun 1950, tim Olimpiade dari Soviet juga mulai bereksperimen untuk membuat suplemen testosterone untuk meningkatkan kekuatan para atletnya.
Melihat fenomena tersebut, banyak organisasi olahraga mulai melarang penggunaan PEDs. Secara global, ada organisasi World Anti-Doping Agency (WADA). Sementara di Indonesia ada Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI).
Menurut LADI, dalam Sistem Keolahragaan Nasional yang tercantum pada Undang-Undang No 3 Tahun 2005,
a) Doping dilarang dalam semua kegiatan olahraga
b) Setiap Induk Organisasi Cabang Olahraga dan/atau Lembaga/Organisasi Olahraga Nasional wajib membuat peraturan doping dan disertai sanksi
c) Pengawasan doping dilakukan oleh Pemerintah
Penyalahgunaan zat-zat stimulan untuk doping biasanya adalah golongan amphetamine, D-methamphetamine, cocaine, caffeine. Penelitian terkait penggunaan stimulan ini menunjukkan bahwa para atlet menyalahgunakan zat tersebut untuk meningkatkan ketahanan tubuh, meningkatkan performa anaerobic, meredakan perasaan lelah, meningkatkan reaksi terhadap waktu, juga meningkatkan perasaan waspada saat berkompetisi, serta dapat menurunkan berat badan.
Tidak hanya stimulan, penyalahgunaan ganja dan narkotika jenis lain juga biasa digunakan untuk mengurangi rasa sakit saat berlatih atau berkompetisi intens. Padahal penyalahgunaan ini memiliki dampak seperti insomnia, kecemasan berlebihan (stimulan) serta mengurangi rasa waspada dan berdampak pada koordinasi dan konsentrasi atlet (ganja).
Untuk meminimalisir segala bentuk penyalahgunaan doping, WADA atau organisasi anti doping dunia memberlakukan aturan program test doping plan (TDP). Salah satu kasus yang menjadi sorotan pada 2021 lalu adalah ketika Pertandingan Piala Thomas, Indonesia tidak bisa mengibarkan bendera Merah Putih ketika menjadi juara karena sanksi dari WADA karena Indonesia dianggap tidak mematuhi rencana jumlah tes doping tahunan yang disyaratkan.
Referensi:
- https://www.kompas.com/tren/read/2021/10/18/200000365/apa-itu-doping-ini-sejarah-jenis-dan-bahayanya-bagi-atlet?page=allhttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4140700/
Penulis: Adhika Pertiwi, M.A. (BNNP DIY)