Skip to main content
Artikel

Mekanisme Asesmen Terpadu Terhadap Penyalah Guna Narkotika Ditinjau Dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana

Dibaca: 8992 Oleh 30 Jan 2020Januari 1st, 2021Tidak ada komentar
berita dan artikel 1
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Mekanisme asesmen terpadu penyalah guna narkotika merupakan bentuk implementasi keprihatinan terhadap penanganan penyalah guna Narkotika di Indonesia. Penyalah guna narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ibarat orang berdiri pada dua kaki, satu kaki berada pada dimensi kesehatan, kaki lainnya pada dimensi hukum. Pada dimensi kesehatan, penyalah guna narkotika diumpamakan sebagai orang sakit kronis bersifat candu, harus disembuhkan melalui rehabilitasi sedangkan pada dimensi hukum, penyalah guna adalah kriminal yang harus dihukum karena melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Oleh karena itu, terhadap perkara penyalah guna, UU Narkotika memberikan solusi dengan mengintegrasikan dua pendekatan tersebut melalui hukuman rehabilitasi.

Integrasi dua pendekatan tersebut dilakukan melalui mekanisme asesmen terpadu yang di dalamnya akan menghasilkan rekomendasi dapat atau tidaknya tersangka direhabilitasi. Pelaksanaan mekanisme asesmen terpadu berlandaskan beberapa peraturan, di antaranya Peraturan Bersama antara BNN dengan Mahkumjakpol, Kemenkes dan Kemensos tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke dalam Lembaga Rehabilitasi, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi, Peraturan Jaksa Agung Nomor 29 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi serta Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis bagi Pecandu, Penyalah guna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

Mekanisme asesmen terpadu menjadi penting untuk dianalisis melalui perspektif Kebijakan Hukum Pidana, dengan berpedoman pada Ius Constitutum, Ius Operatum dan Ius Constituendum. Ditinjau dari tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi segi keterlibatan para aparat penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum, hakim, dalam mekanisme asesmen terpadu menjadi tantangan tersendiri untuk menyelesaikan problematika yang muncul di dalamnya dikarenakan lintas instansi, baik dari segi peraturan teknis maupun penerapannya.

Mekanisme asemen terpadu yang memadukan hasil analisa antara tim medis dan tim hukum terhadap penentuan tersangka tindak pidana narkotika apakah termasuk kategori penyalah guna narkotika atau pengedar narkotika, memiliki peran penting terutama sebagai proses screening bagi pengkategorian status penyalah guna narkotika dan atau pengedar narkotika, sehingga dapat dianalisa sebagai bagian proses kebijakan hukum pidana melalui analisa mendalam. Begitu pula dalam melihat kedudukan tersangka/terdakwa penyalah guna narkotika sebagai orang sakit atau sebagai pelaku tindak pidana dengan menyertakan proses rehabilitasi selama persidangan dapat menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara tersebut dengan pidana penjara atau pidana rehabilitasi.

Penjatuhan vonis hakim berupa vonis rehabilitasi masih relatif jarang. Sebagian besar penyalah guna narkotika tidak dijatuhi vonis rehabilitasi sesuai yang disebutkan dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, melainkan dijatuhi vonis penjara meskipun ketentuan Undang-Undang Narkotika telah menjamin adanya upaya rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 54, Pasal 56, Pasal 103, dan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika. Hal ini dapat dilihat dari putusan terhadap kasus narkotika di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang melalui mekanisme asesmen terpadu, dari total 34 kasus menghasilkan putusan hakim berupa pidana penjara sebanyak 33 kasus setara dengan 97,05%. Hal ini sangat disayangkan, mengingat latar belakang adanya asesmen terpadu adalah agar ada sinkronisasi tindakan penegak hukum mulai dari tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan sampai dengan vonis adalah tindakan rehabilitasi.

Kebijakan Hukum Pidana memiliki ruang lingkup yang luas. Aspek ini berorientasi pada kenyataan bahwa kebijakan hukum pidana berupa penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” sebagai bentuk penal policy atau penal law enforcement policy dilaksanakan melalui tahap-tahap yang terdiri dari Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut juga tahap legislasi. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap eksekusi, yaitu pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan ekseskutif atau administrasi.

Terdapat 10 (sepuluh) kelemahan pengaturan asesmen terpadu tehadap penyalah guna Narkotika yaitu Pertama,  Kontradiksi pengaturan Pasal tentang rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Kedua, Cakupan jenis narkotika dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010, tidak mengikuti perkembangan jenis narkotika terbaru, Ketiga, Inkonsistensi Istilah Penyalah guna, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu antara SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dengan Peraturan Bersama 7 (tujuh) lembaga negara, PERJA Nomor 29 Tahun 2015 dan PERKA BNN Nomor 11 Tahun 2014, Keempat, Klasifikasi istilah “ Tertangkap Tangan”  dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 bersifat multi tafsir, Kelima, Perbedaan persyaratan hasil pemeriksaan laboratorium dan tempat rehabilitasi dalam pengaturan antara Peraturan Bersama 7 (tujuh) lembaga negara Tahun 2014 dengan Peraturan Kepala BNN Nomor 11 Tahun 2014, Keenam, Ketidaksinkronan pengaturan awal mulai perhitungan batas waktu dikeluarkannya hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu antara Peraturan Bersama 7 (tujuh) lembaga negara Tahun 2014 dengan Peraturan Kepala BNN Nomor 11 Tahun 2014, Ketujuh, Penggunaan kata “ Dapat ditempatkan” dalam Peraturan Bersama 7 (tujuh) lembaga Negara kontradiksi dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 29 Tahun 2015 yang menghilangkan penggunaan kata “dapat” dalam hal penempatan Tersangka dan/atau Terdakwa Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi, Kedelapan, Pengaturan secara sektoral mengenai residivis narkotika dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 29 Tahun 2015, bukan merupakan amanat dari Peraturan Bersama 7 (tujuh) lembaga negara, Kesembilan, Perbedaan standar lama jangka waktu rehabilitasi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2015 dengan SEMA Nomor 4 tahun 2010, Kesepuluh, pembatasan jangka waktu rehabilitasi sebelum putusan Hakim dibatasi maksimal 3 (tiga) bulan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2015.

Tahap Aplikasi menggunakan Teori Sistem Hukum (legal system theory) untuk pisau analisis sebagai grand theory. Lawrence M. Friedman, dalam bukunya yang berjudul “ The Legal System A Social Sciense Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Sistem hukum harus memuat Legal Substance, Legal Structure dan Legal Culture. (Lawrence M. Friedman, 1984).

Kendala dalam Faktor Substansi Hukum (Legal Substance), melihat pada suatu pengaturan asesmen terpadu, yang memiliki 10 (sepuluh) kelemahan sebagaimana disebut sebelumnya sehingga menyebabkan kendala berupa kekhawatiran penyidik dalam penerapan pasal tunggal, timbul penolakan dari Tim Asesmen Terpadu untuk mengasesmen terpadu, perbedaan pandangan terkait ketentuan yang multi tafsir, timbul celah bagi “oknum penyidik” untuk memanfaatkan perbedaan istilah, keraguan penyidik dalam bertindak, ketidaktaatan penegak hukum dalam menempatkan penyalah guna ke dalam lembaga rehabilitasi, tidak adanya kepastian hukum, inkonsistensi, ketidaksinergisan dalam penerapan pengaturan, timbul ego sektoral yang menyulitkan dalam case conference, kesulitan Hakim dalam memutus jangka waktu yang sesuai bagi penyalah guna Narkotika, menimbulkan kesulitan dalam penentuan tanggung jawab pembiayaan rehabilitasi

Kendala dalam faktor Struktur Hukum (Legal Structure), berdasarkan hasil wawancara di lapangan yang dianalisa dengan teori terkait maka Penulis merumuskan kendala penerapan asemen terpadu bagi penyalah guna narkotika, apabila dipandang dari faktor struktur hukum (legal structure) yaitu mental dan moral aparat terkait belum memadai, kesejahteraan aparat penegak hukum yang menangani masalah narkotika masih rendah sehingga mudah tergiur untuk bekerja sama dengan bandar, jumlah aparat hukum kurang memadai dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia, profesionalisme aparat penegak hukum kurang memadai, masih mengedepankan ego sektoral sehingga koordinasi tidak terintegrasi, orientasi aparat penegak hukum masih berfokus pada pemidanaan bukan ke rehabilitasi, kekhawatiran penyidik serta jaksa bahwa tersangka dan atau terdakwa akan melarikan diri dari lembaga rehabilitasi dan menjadi DPO.

Kendala dalam faktor Budaya Hukum (Legal Culture), dapat terlihat dari budaya hukum di masyarakat bahwa dengan adanya pemidanaan maka tersangka akan menjadi jera. Padahal terhadap penyalah guna, pidana penjara tidak tepat karena penyalah guna sebagai “orang sakit” lebih membutuhkan rehabilitasi untuk menyembuhkan sakitnya tersebut.

Prospek pengaturan asesmen terpadu terhadap penyalah guna narkotika di masa mendatang, maka kebijakan hukum pidana akan melihat seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbarui. Pembaruan hukum pidana (penal reform) juga merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dari pembaruan hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk melakukan  reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial. (Barda Nawawi, 2010).

Penyempurnaan dan perbaikan pengaturan asesmen terpadu dengan cara mensinkronkan Pasal yang overlapping, melakukan pembahasan dengan seluruh instansi terkait sehingga dihasilkan persamaan persepsi untuk mengutamakan rehabilitasi dibandingkan pemidanaan penjara terhadap penyalah guna narkotika dalam mewujudkan usaha perlindungan kesejahteraan masyarakat (social welfare) serta cita-cita bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada. Terkait dengan hal tersebut tentunya formulasi pengaturan mekanisme asesmen terpadu terhadap penyalah guna narkotika, harus menjunjung tinggi dan sesuai dengan prinsip-prinsip kepastian hukum seperti tidak saling bertentangan, tidak multi tafsir dan dirumuskan secara jelas (lex certa).

Kebijakan Hukum Pidana melalui pendekatan humanis yaitu berupa tindakan rehabilitasi melalui mekanisme asemen terpadu harus diutamakan baik dari segi formulasi pengaturan, aplikasi dan eksekusi asesmen tersebut terhadap penyalah guna narkotika. Sebagaimana dinyatakan oleh Barda Nawawi Arif (Barda Nawawi Arif, 2010), bahwa :

“Terlebih lagi bagi Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan garis kebijakan nasionalnya bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana tujuan tersebut maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu, pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.”

Mekanisme asesmen terpadu yang lahir dari keprihatinan penanganan penyalah guna narkotika, diharapkan dapat menjadi gerbang utama untuk pembangunan di bidang hukum yang lebih humanis dalam bentuk penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika di masa mendatang.

 

Dayu Purnama Adianingsih, S.H., M.H.

 

 

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel