
Indonesia darurat narkoba!
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Presiden RI, Ir. Joko Widodo pada tahun 2015.
Pernyataan yang bermakna sangat dalam. Menggambarkan keseriusan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia. Makna darurat bisa diartikan harus segera ditangani, dan akan mengakibatkan masalah yang serius apabila tidak segera diatasi. Jika kita melihat di rumah sakit, maka ruang gawat darurat pastilah berada di bagian paling depan dan paling mudah diakses oleh pasien. Penanganan di ruangan gawat darurat juga dilakukan dengan sangat cermat dan cepat karena menyangkut keselamatan nyawa pasien. Maka pada saat Presiden menyampaikan bahwa Indonesia dalam keadaan darurat narkoba, tentu bukan sekedar pernyataan biasa, melainkan berdasar pada fakta yang ada. Bahwa narkoba memiliki daya rusak yang sangat serius bahkan mungkin melebihi korupsi dan terorisme, karena narkoba merusak otak yang tidak ada jaminan sembuh. Narkoba juga menjerat hampir semua lapisan masyarakat, baik dari masyarakat ekonomi rendah, menengah, maupun atas. Juga melibatkan masyarakat dari berbagai latar belakang pekerjaan. Wilayah sebaran narkoba juga telah meluas ke seluruh penjuru tanah air dan bukan hanya terpusat di kota, melainkan telah masuk ke pedesaan. Bahkan yang membuat keprihatinan makin meningkat adalah bahwa narkoba telah menyasar ke anak-anak sebagai usaha para bandar meregenerasi pangsa pasarnya. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta adalah pasar yang empuk untuk bisnis yang haram ini. Kerugian yang harus ditanggung negara akibat permasalahan narkoba mencapai lebih dari 63 trilyun, angka kematian akibat penyalahgunaan narkoba juga berpotensi terjadinya loss generation karena usia produktif adalah sasaran utamanya. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah banyaknya bermunculan narkoba jenis baru atau NPS (New Psychoactive Substances) dengan modus peredaran yang semakin beragam dan tdak terprediksi. Kepala BNN RI, Komjen.Pol.Drs. Heru Wijanarko, S.H menyampaikan bahwa saat ini terdapat 803 jenis NPS di seluruh dunia dimana 74 jenis telah beredar di Indonesia dan beberapa telah masuk dalam lampiran Permenkes Nomor 20 tahun 2018 (disampaikan di ITB saat mengisi kuliah umum pada tanggal 2 Oktober 2019).
Lalu bagaimana masyarakat menyikapi hal ini?
Ada beberapa sikap yang mungkin diambil.
Satu, proaktif dan responsif, dengan langsung mengambil peran aktif dalam upaya penyelesaian masalah. Berpikir dengan kreatif tentang apa yang mungkin dilakukan dalam berperan nyata mengatasi masalah narkoba. Selalu berusaha mengambil bagian, dalam setiap kesempatan, memberikan sumbangsih entah berupa tenaga, dana, pemikiran/gagasan/ide, atau bahkan ketiganya, tanpa memikirkan imbalan apa yang akan didapat. Sikap seperti ini pastilah didorong oleh rasa kemanusiaan yang sangat tinggi, jiwa sosial, kepekaan terhadap permasalahan orang lain apalagi permasalahan negara, dan pastilah tidak diragukan lagi bagaimana level nasionalismenya.
Dua, sikap oppurtunis. Jika mendatangkan keuntungan maka akan dilakukan. Apa yang dilakukan mungkin sedikit banyak membantu mengentaskan permasalahan narkoba, tetapi jika hal tersebut memberikan keuntungan dan nilai tambah untuk diri sendiri.
Tiga, sikap apatis. Tidak peduli, acuh, tidak mau tahu tentang permasalahan narkoba. Meskipun mungkin memiliki kemampuan untuk berperan serta, tetapi karena sikap acuh membuat akhirnya sama sekali tidak peduli. Yang penting diri sendiri aman, keluarga aman, tidak ada yang terkena bahaya penyalahgunaan narkoba, maka tidak ada alasan untuk ikut campur mengurus masalah ini.
Mari kita menengok ke diri sendri. Termasuk yang manakah sikap yang kita ambil? Apakah kita termasuk yang bersikap proaktif, opportunis, atau apatis?
Dalam beberapa kesempatan memberikan penyuluhan di berbagai lapisan masyarakat, saya sering mendapatkan pertanyaan semacam ini, ”Bu, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mengatasi permasalahan narkoba, terutama di lingkungan sekitar kita?” Banyak sekali dari kita yang bingung harus melakukan apa. Tidak sedikit juga yang takut untuk mengambil peran aktif. Takut menjadi sasaran bandar, takut mendapat kesulitan dan tekanan dari masyarakat, bahkan justru menutupi jika salah satu keluarganya kecanduan narkoba, karena menganggap itu adalah aib. Padahal, mustahil permasalahan narkoba di Indonesia akan tuntas teratasi jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum atau lembaga berwenang seperti BNN misalnya. Diperlukan peran serta seluruh masyarakat, tanpa terkecuali.
Dalam hal apa?
Minimal dalam tiga hal. Saya lebih senang menyebutnya dengan TIGA BERANI.
SATU, berani berkata TIDAK pada setiap tawaran penyalahgunaan narkoba. Apapun kondisi dan situasi kita, sedang tertekan ataupun stres karena masalah hidup, narkoba sama sekali bukan jawaban dan justru membuat semakin terpuruk. Bagi masyarakat yang masih sehat dan imun, keberanian untuk selalu berkata TIDAK pada tawaran menyalahgunakan narkoba akan membuat demand terhadap narkoba menurun, sehingga bandar akan pergi mencari pasar lain yang lebih menjanjikan.
DUA, berani BEROBAT/REHABILITASI bagi yang telah terlanjur kecanduan. Jangan pernah berpikir bahwa kecanduan narkoba adalah aib yang harus ditutupi. Keberanian untuk datang ke tempat rehabilitasi atau layanan kesehatan yang memiliki fasilitas penanganan kecanduan narkoba, akan membuat pecandu pulih dan mampu menjadi manusia yang sehat dan produktif. Di Yogyakarta ada lebih dari 10 Institusi Penerima wajib Lapor (IPWL) yang tersebar di wilayah Yogyakarta dan siap membantu proses pemulihan pecandu narkoba.
TIGA, berani MELAPOR jika menemui ada kecurigaan adanya peredaran gelap narkoba di sekitar kita. Entah di tempat kerja, sekolah, kampus, maupun di lingkungan pemukiman kita. Kemana harus melapor? Bisa ke kantor kepolisian setempat atau melapor pada BNNK Yogyakarta, BNNK Sleman, BNNK Bantul, maupun BNNP DIY. Percayalah, laporan dari masyarakat sangat membantu tugas pemberantasan peredaran gelap narkoba yang ada di wilayah kita. Jika kita cuek dan tidak peduli, meski meihat ada peredaran gelap nakoba di sekitar kita, maka sama saja kita turut memperparah permasalahan narkoba di Indonesia.
Inilah tantangan kita bersama.
Beranikah kita melaksanakan tiga hal tersebut?
Saya berani.
Bagaimana dengan anda?
Santy Dwi K, AMK, SKM
Penyuluh narkoba BNNP DIY
Tulisan ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat akhir November 2017