Skip to main content
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

LATAR BELAKANG DAN SEJARAH BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Masalah Narkoba telah lama menjadi permasalahan dunia. Pada tahun 1961 terdapat konvensi PBB mengenai pencegahan dan pemberantasan narkoba yang telah diratifikasi hampir seluruh negara, yaitu Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs, 1961). Republik Indonesia telah menandatangani Konvensi tersebut dengan mengajukan persyaratan dan telah menandatangani pula Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (Protocol Amending the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961). Pemerintah Indonesia meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1976, Konvensi Psikotropika tahun 1971 dan protokolnya tahun 1972 yang diratifikasi dengan undang-undang nomor 8 tahun 1996 dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988 yang diratifikasi dengan Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1997.

Sejak tahun 1976, hampir semua negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sepakat untuk memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

Masalah narkotika di Indonesia bukanlah hal baru, namun telah ada sejak jaman penjajahan. Pada jaman Hindia Belanda telah diterbitkan Verdoovende Middelen Ordonatie (V.M.O) Stbl. 1927 No.278 Jo. no.536 yang telah diubah dan ditambah yang dikenal dengan Undang-Undang Obat Bius. Walaupun telah ada peraturan yang mengatur tentang permasalahan narkoba, namun secara kelembagaan belum dibentuk lembaga yang khusus untuk menangani masalah narkoba, baik pada jaman penjajahan, maupun juga pada pemerintahan orde lama.

Pada zaman pemerintahan orde baru, setelah 10 tahun Indonesia menandatangani Konvensi Tunggal Narkotika tahun 1961 (Single Convention on Narcotic Drugs, 1961), dan juga guna menanggulangi kejahatan Trans Nasional, dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Badan Koordinasi Pelaksanaan Instruksi Presiden Tahun 1971 (Bakolak Inpres Tahun 1971) yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, Polri, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan masyarakat terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba. Sebagian orang berduit mulai mencoba menggunakan narkoba dengan berbagai alasan. Dalam perkembangannya Verdoovende Middelen Ordonatie (V.M.O) Stbl. 1927 No.278 Jo. no.536 dipandang sudah tidak mengikuti perkembangan permasalahan narkotika dan teknologi maka diganti dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika.

Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 digunakan sebagai pedoman penanggulangan tindak pidana narkotika selama kurang lebih 21 tahun, hingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997. Guna menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus miningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan dari perwakilan 25 Instansi Pemerintah terkait.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personel dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan satker-satker tertentu dari 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi: 1. mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan 2. mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan instansi terkait. BNN tidak yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan belum mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN, BNP, BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.

Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN memiliki perwakilan di Provinsi dan Kabupaten/kota dan diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional, dimana sebagai tindak lanjut amanat Undang – undang Nomor 35 tahun 2009 pasal 64 dan pasal 65, dibentuklah 30 Badan Narkotika Provinsi (BNNP) yang termasuk di dalamnya adalah Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY). Pada tanggal 20 April 2011 telah dilantik 30 Kepala BNNP termasuk Kepala BNNP DIY, berdasarkan Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor: Kep/51/IV/2011/BNN tanggal 19 April 2011 tentang Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan Badan Narkotika Nasional.

Pada awal terbentuknuya BNNP DIY, jumlah sumberdaya manusia yanga ada hanya delapan orang personel. Mereka ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor : Kep/51/IV/2011/BNN tanggal 19 April 2011 tentang Pengangkatan dalam Jabatan di lingkungan Badan Narkotika Nasional, yang antara lain mengangkat Pejabat Struktural eselon II-A, III-A dan IV-A pada BNNP DIY. Keputusan tersebut sebagai tindak lanjut Peraturan Perundang-undangan dengan mempertimbangkan usulan Gubernur DIY.

Kedelapan personel tersebut mengisi jabatan struktural sebagai 1 orang Kepala BNN (Drs. Budiharso, M.Si), 1 orang Kepala Bagian Tata Usaha (Dra. Sri Rahayu), 1 orang Kepala Bidang Pencegahan (V. Bambang Budi Istriarjo, SE), 3 orang Kepala sub bagian, yaitu Kepala Sub Bag Perencanaan pada Bagian Tata Usaha (Drs. Aryanto Hendro Suprantoro), Kepala Subbagian Administrasi pada Bagian Tata Usaha (Ari Miarsiningsih, BA), Kepala Subbagian Logistik pada Bagian Tata Usaha (Indartiningsih, BA) 2 Kepala Seksi yaitu Kepala Seksi Desiminasi Informasi pada Bidang Pencegahan (Suharyono, SIP), Kepala Seksi Advokasi pada Bidang Pencegahan (Aris Subagya, S.Sos ).

Jumlah tersebut secara bertahap terus bertambah, hingga Mei 2013 terdapat 44 personel yang jauh lebih kecil dari kebutuhan ideal sesuai Daftar Susunan Personel sekitar 190 orang. Dari kondisi personel tersebut maka masih terbuka peluang untuk menerima PNS yang menginginkan mengabdi dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di BNNP DIY, baik untuk status dipekerjakan / ditugaskan, maupun mutasi. Khusus untuk memenuhi kebutuhan personel di bidang pemberantasan dipersyaratkan yang telah memiliki kualifikasi penyidik (Polri maupun PPNS)

Pada awalnya BNNP DIY berkantor di Kepatihan, menempati dua ruangan di Biro Umum, Pemerintah Daerah DIY bergabung menjadi satu dengan Badan Narkotika Provinsi yang telah terbentuk dengan keputusan Gubernur. Setelah mendapatkan alokasi anggaran pada akhir bulan September 2011 maka mulai bulan Oktober mengontrak sebuah rumah di Mergangsang hingga 5 Maret 2012.

Sebagai tindak lanjut pelaksanaan program vertikalisasi BNN, pada tahun 2011 direncanakan dibangun 10 gedung kantor BNNP dan 33 gedung kantor BNNK/Kota di seluruh Indonesia. Pembangunan Gedung BNNP DIY diawali adanya kesepakatan bersama antara Kepala BNN dan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dituangkan dalam Surat Kesepakatan Bersama Nomor: 2/KSP/II/2011 dan Nomor: SKB/5/II/2011/BNN tentang Kerjasama Pelaksanaan Percepatan Pengembangan dan Pembangunan Kapasitas Badan Narkotika Nasional Provinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gedung BNNP DIY beralamatkan di Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan Parakan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta berdiri di atas tanah yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DIY dengan luas tanah + 1.380 m2, berstatus Pinjam Pakai yang secara teknis setiap dua tahun BNN mengajukan permohonan perpanjangan pinjam pakai. Sedangkan luas bangunan 1.274 m2.

Pemilihan lokasi Gedung BNNP DIY di tengah kota Yogyakarta ini mengacu ketentuan Pasal 65 ayat 3 UU No 35 Tahun 2009 yang mengamanatkan bahwa “BNN Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi”, Selain itu pemilihan tempat ini juga mempartimbangkan segi strategis dan keamanan. Lokasi ini berada di tengah Kota Yogyakarta, sehingga memudahkan untuk berkoordinasi dengan Instansi terkait, mudah dijangkau oleh BNK/BNNK dan masyarakat dari segala penjuru DIY, diperkirakan lebih aman dari bencana alam gempa dan bahaya merapi.

Untuk pelaksanaan operasional P4GN gedung ini terdapat dua bagian, yaitu 1. gedung utama, pos jaga dan gudang; 2. gedung tahanan. Fasilitas gedung yang disediakan antara lain :

  1. Di Gedung Utama, Pos Jaga dan Tahanan seluas 988 m2,, meliputi:
    a. Ruang kerja pejabat struktural Eselon II A, IIIA, IV A besrta staf dan Tim Penindakan seluas 464 m2.
    b. Lobby, Ruang Rapat, Ruang Penyidikan, Ruang Arsip, Ruang Gudang, Toilet, Pantry dan Ruang makan, Koridor/sirkulasi udara, Ruang Genset, Ruang Penyimpanan Barang Bukti, Tangga, Pos Jaga seluas 524 m2.
  2. Gedung Tahanan seluas 286 m2, meliputi: Ruang Tahanan pria dan wanita, Ruang pengunjung pria dan wanita.

Pembangunan Gedung BNNP DIY diprakarsai BNN Pusat, didukung oleh perencana bangunan PT. SARANA BAGYA BUMI, Surabaya dan dilaksanakan oleh PT. PITACO MITRAPERKASA, Jakarta, yang diawasi oleh Konsultan Manajemen PT. ARKONIN, Jakarta. Adapun total nilai pembangunan gedung Kantor BNNP DIY sebesar Rp7.899.961.000,00 (Tujuh Milyar Delapan Ratus Sembilan Puluh Sembilan Juta Sembilan Ratus Enam Puluh Satu Ribu Rupiah) yang berasal dari anggaran APBN yang tertuang dalam DIPA BNN Tahun 2011.

Gedung BNNP DIY yang telah dibangun dengan megah mulai ditempati sebagai kantor BNNP mulai hari Senin tanggal 5 Maret 2012. Dengan berdirinya Gedung Kantor BNNP DIY ini Kepala BNNP DIY pada saat peresmian mengharapkan agar Gedung tersebut dapat sebagai pusat pelayanan masyarakat dalam penanganan permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika; sebagai pusat informasi dan tukar pikiran dalam bidang pencegahan dan penyembuhan korban penyalahgunaan narkotika, serta dalam bidang pemberantasan terhadap jaringan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika juga diharapkan sebagai pusat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian serta evaluasi dalam mewujudkan visi, misi, strategi BNNP untuk mencapai target P4GN di DIY.

Untuk meningkatkan kapasitas rehabilitasi di wilayah DIY pada tahun 2015 di BNNP DIY didirikan Klinik Pratama yang diberi nama “Klinik Pratama Seger Waras BNNP DIY”. Bangunan klinik berada di sisi belakang gedung BNNP DIY bersebelahan dengan gedung ruang tahanan BNNP DIY. Klinik secara resmi beroperasi pada bulan September 2015 setelah mendapatkan ijin dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan nomor 503/6501 tertanggal 07 September 2015. Klinik Prataman Seger Waras hanya melayani rehabilitasi rawat jalan, sedangkan untuk rehabilitasi rawat inap dirujuk ke tempat rehabilitasi rawat inap yang ada di DIY.

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel