Pengertian sekolah apabila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah lembaga atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar sesuai dengan jenjang pendidikan. Sedangkan kata ‘pendidikan’ berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” sehingga kata tersebut memiliki makna proses atau cara atau perbuatan mendidik. Proses pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam upaya mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Abullah (2011) kata sekolah berasal dari Bahasa latin yaitu skhhole, scola, scolae atau skhola yang artinya waktu luang atau waktu senggang. Sekolah merupakan kegiatan rekreasi bagi anak-anak disela-sela aktivitasnya yang utama adalah bermain dan menikmati masa kecil dan remaja. Sedangkan seorang ahli bernama Sunarto menyampaikan kata sekolah telah berubah maknanya menjadi bangunan atau lembaga bagi siswa belajar dan mengajar serta sebagai tempat memberi juga menerima pelajaran. Secara garis besar dapat disimpulkan sekolah adalah lembaga yang dirancang untuk mengajar siswa di bawah pengawasan pendidik atau guru.
Penyalahgunaan narkoba di lingkungan sekolah adalah masalah yang dapat saja terjadi pada sekolah-sekolah yang ada di tanah air. Peran sekolah sebagai lembaga yang dirancang untuk mengajar siswa di bawah pengawasan pendidik atau guru tentu saja tidak dapat dinafikan di dalam perjalanannya pasti memiliki permasalahan, salah satu permasalahan yang dapat saja terjadi adalah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba merupakan permasalahan yang dapat terjadi kepada siswa yang bersekolah di semua lapisan baik di perkotaan maupun pedesaan.
Membentengi siswa dan lingkungan sekolah dari peredaran narkoba adalah salah satu cara pencegahan agar tidak terjadi penyalahgunaan narkoba di sekolah. Beberapa pendekatan pencegahan yang dapat dilakukan yakni pertama, pencegahan primer dengan jalan sekolah mengenali siswa-siswa dengan baik. Apabila perlu dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan dan penelusuran kepada siswa yang mempunyai potensi lebih tinggi untuk terkena narkoba. Siswa-siswa dengan riwayat keluarga broken home, misalnya dapat menjadi salah satu fokus dalam pengamatan.
Langkah pencegahan berikutnya yakni pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan jalan guru-guru dan seluruh staf disekolah dapat memberikan pengertian, pemahaman dan keyakinan bahwa penggunaan narkoba hanya akan merugikan diri dan masa depannya saja. Apabila diperlukan dalam tahap ini dapat melibatkan Badan Narkotika Nasional untuk memberikan sosialisasi maupun pemaparan tentang bahaya narkoba. Secara efektif dapat pula dilakukan kegiatan skrining oleh Badan Narkotika Nasional untuk mengetahui ada tidaknya siswa yang pernah menggunakan narkoba. Tidak lupa juga dapatnya secara periodik dilakukan tes urine kepada para siswa maupun guru di lingkungan sekolah. Pembentukan satgas anti narkoba di lingkungan sekolah juga dapat digalakkan dalam rangka memberikan edukasi dan motivasi agar para anggota satgas dapat menjadi pelopor dalam upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan narkoba.
Upaya rehabiltasi terhadap para penyalahguna narkoba yang ada di lingkungan sekolah juga dapat dilakukan. Upaya rehabilitasi ini masuk dalam kategori pencegahan tersier. Beberapa kasus narkoba di lingkungan sekolah yang pernah diketahui penulis kebanyakan tidak sampai dalam tahap rehabilitasi. Hal ini terjadi dikarenakan sudah ada sanksi dikeluarkan bagi siswa yang terlibat dalam penyalahguna narkoba di lingkungan sekolah tanpa siswa tersebut dilakukan upaya rehabilitasi.
Siswa korban penyalahgunaan narkoba seyogyanya tidak langsung dikeluarkan dari sekolah, tetapi harus diberikan kesempatan untuk dapat berubah ke arah yang lebih baik. Ketika seorang siswa korban penyalahgunaan narkoba dikeluarkan dari sekolah justru yang banyak terjadi akan menimbulkan masalah-masalah baru akibat dari masalah yang belum selesai. Upaya rehabilitasi dengan melibatkan pihak sekolah maupun keluarga dapat dilakukan terhadap siswa korban penyalahgunaan narkoba melalui upaya rehabilitasi rawat jalan dengan tetap memperhatikan kepentingan belajar siswa tersebut.
Pihak-pihak terkait dalam hal ini sekolah, keluarga, maupun institusi terkait dapatnya menemukan formulasi yang tepat dalam melakukan upaya rehabilitasi terhadap siswa yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Tentunya adanya payung hukum regulasi yang mengikat terhadap ketentuan siswa yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba tidak dikeluarkan dan menjalani proses rehabilitasi adalah sesuatu hal yang diinginkan para stakeholder terkait. Implementasi dari regulasi yakni ketaatan dan kepatuhan dari pihak sekolah dalam menjalankan aturan agar siswa yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba tidak dikeluarkan dan menjalani proses rehabilitasi adalah hal yang kita nanti bersama. Upaya ini akan menjadi pemantik dalam usaha untuk mengurangi masifnya penyalahgunaan narkoba dilingkungan sekolah. Dan tentunya akan menjadi tambahan energi semangat positif dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (P4GN).
Penulis:
Ari Sutyasmanto
Konselor BNNP DIY