Beberapa tahun terakhir penyalahgunaan pil sapi merebak di kalangan para pelajar. Berbagai kasus yang melibatkan pelajar seperti tawuran, klitih juga konon tidak lepas dari penyalahgunaan pil sapi. Dari beberapa kejadian klitih misalnya ketika pelaku diperiksa ternyata sebelum melakukan kejahatan klitih mengkonsumsi pil sapi untuk menambah keberanian. Pil yang konon dihargai Rp. 25.000 dalam 1 strip yang berisi 10 tablet pasti adalah harga yang murah di kantong para pelajar. Apalagi jika diberikan secara cuma-cuma meskipun itu hanya di awal saja. Tentu tahap selanjutnya pasti harus membayar atau mencari sendiri, bahkan ada yang jadi pengepul atau iseng-iseng mencari di situs e-commerce untuk membelinya secara serampangan.
Pil sapi adalah nama jalanan yang sangat ngetrend dikalangan para pelajar. Peminatnya relatif banyak dengan harga yang boleh dikatakan ramah dikantong pelajar. Trihexyphenidyl adalah nama sebenarnya dari pil sapi. Trihexyphenidyl adalah nama yang berlaku secara internasional. Orang awam kadang mudah menyebutnya dengan THP atau trihex. Sedangkan nama dagangnya (brand) sangat beragam tergantung penamaan dari pabrik yang membuatnya. Trihex dikenal luas sebagai obat yang digunakan untuk penyakit parkinson (parkinson disease) yang gejalanya dapat membuat tubuh terasa kaku dan sulit untuk digerakkan.
Trihex adalah salah satu obat yang dapat digunakan untuk meredakan gejala tersebut. Trihexyphenidyl membantu menurunkan rasa kaku pada otot, keringat berlebih, dan produksi air liur. Obat ini termasuk dalam golongan obat anti–muskarinik yang bekerja dengan cara menghalangi asetilkolin, zat alami yang berfungsi menghantarkan sinyal saraf ke otot. Obat ini termasuk obat keras yang hanya boleh digunakan berdasarkan resep dokter. Jadi sebenarnya Trihexyphenidyl atau biasa disebut pil sapi adalah obat yang resmi beredar dengan segala ketentuan peraturan yang ada. Di mana dalam penggunaan obat sendiri harus patuh kepada kaidah penggunaan obat secara rasional yakni tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat memilih obat, tepat dosis, tepat penilaian kondisi pasien termasuk waspada terhadap efek samping obat.
Penggunaan obat secara rasional terhadap obat-obatan resmi yang beredar tentunya tidak akan menjadi sebuah persoalan yang berarti. Namun penyalahgunaan obat yang terkadang dilakukan itulah yang akan menjadi sebuah permasalahan. Apalagi apabila dalam kasusnya obat tidak hanya disalahgunakan untuk kepentingan sendiri namun sudah ada motif ekonomi berupa jual beli maka hal itu pasti melanggar hukum. Berkaitan dengan itu telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Berdasarkan Undang-Uundang ini pada pasal 197 berbunyi “ Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 milliar”. Sedangkan Pasal 198 berbunyi “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100 juta”.
Tentunya dalam sebuah kasus ada pelaku juga ada korban. Kejahatan narkoba adalah sebuah kejahatan yang sering disebut dengan victimless crime. Sebuah kejahatan tanpa korban yakni bentuk kejahatan yang umumnya merupakan tindakan kriminal illegal yang tidak memiliki korban yang dapat diidentifikasi. Kejahatan ini mencakup tindakan yang melibatkan pelaku atau sekumpulan orang yang sukarela menyetujui atau melakukan kegiatan tersebut.
Mengambil istilah Kepala Badan Narkotika Nasional Dr. Petrus Reinhard Golose, pengguna narkotika tetaplah merupakan seorang pelaku, meskipun pemyalahgunaan narkoba juga merupakan victimless crime atau tindak kejahatan yang korbannya adalah diri sendiri. Namun terhadap korban penyalahgunaan narkoba juga perlu dilakukan rehabilitasi. Akses rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkoba dibuka secara luas di balai maupun klinik milik BNN maupun di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) agar para klien dapat ditangani oleh konselor adiksi maupun tenaga medis yang tersertifikasi dengan tujuan klien-klien ini dapat kembali pulih, produktif maupun berfungsi sosial kembali.
Penulis:
Apt Ari Sutyasmanto (Konselor Adiksi BNNP DI Yogyakarta)